Dari Penangkapan Gelap hingga Uang Damai Misterius, Laporan Cepot Guncang Bangka Belitung

Berita, Daerah34 Dilihat

Pangkalpinang, exsekusinews.id — Kasus dugaan penipuan dan pemerasan terkait aktivitas tambang timah kembali mengguncang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Kali ini, dua nama penting di lingkaran pemerintahan menjadi sorotan publik, yakni Jauhari, Staf Khusus Gubernur Babel, dan Yuli Eko Prihartanto, Kepala Bakamla Provinsi Babel.(01/11/2025)

Laporan resmi terkait dugaan tersebut disampaikan oleh Cepot, seorang kolektor timah asal lingkungan Rambak Sliat, pada Sabtu (1/11/2025) di SPKT Polresta Pangkalpinang.

Laporan ini berawal dari peristiwa Sabtu malam (13/9/2025), saat Tim Bakamla Babel melakukan penangkapan terhadap tiga warga terkemuka , yakni Surya Dharma alias Kuncoi (pengusaha tambak udang), Lukman (Ketua HNSI Kabupaten Bangka), dan Cepot sendiri.

Namun, alih-alih kasus ini diproses hukum secara tegas, prosesnya justru berakhir dengan “damai” dalam waktu singkat.
Tiga orang yang diamankan tersebut hanya ditahan selama satu kali 24 jam, sebelum akhirnya dilepas pada Minggu siang setelah tercapai mufakat dengan pihak Bakamla Babel melalui kesepakatan uang damai sebesar Rp100 juta.

Menurut keterangan Cepot sebagai pelapor, uang tersebut diserahkan langsung kepada Jauhari, yang pada saat itu mengaku mampu memediasi dan mengatur proses penyelesaian dengan pihak Bakamla.

“Saya percaya karena dia bilang sudah koordinasi dengan Bakamla. Katanya uang itu untuk penyelesaian agar tidak diperpanjang masalahnya,” ungkap Cepot kepada awak media usai membuat laporan.
Namun, lanjutnya, beberapa hari kemudian muncul kejanggalan — baik Jauhari maupun pihak Bakamla sama-sama menyangkal telah menerima uang tersebut.

“Saya merasa ditipu. Uang sudah diserahkan, tapi malah saling lempar tanggung jawab. Kalau begini, jelas kami yang dirugikan,” tegasnya.

Sementara itu, Lukman, Ketua HNSI Kabupaten Bangka yang juga menjadi salah satu saksi dalam laporan ini, membenarkan adanya upaya damai melalui perantara yang mengatasnamakan staf khusus gubernur.

“Saya tahu jelas saat itu Cepot berkomunikasi dengan seseorang bernama Jauhari. Katanya bisa bantu supaya kasus selesai. Tapi ujung-ujungnya semua mengaku tidak tahu-menahu soal uang itu,” ujarnya.

Lukman juga menambahkan, selama proses penahanan, pihak Bakamla tidak pernah menjelaskan secara terbuka dasar hukum penangkapan maupun tindak lanjut perkara.
“Kami hanya disuruh tunggu. Besoknya malah dilepas. Semua terasa janggal,” tambahnya.

Sumber internal juga menyebutkan bahwa Jauhari berperan aktif dalam mengatur jalannya komunikasi antara pihak yang ditangkap dan Bakamla. Namun koordinasi tersebut justru tidak jelas arah dan hasilnya, menimbulkan dugaan adanya penipuan berkedok mediasi.

Kini, laporan resmi Cepot telah diterima oleh pihak kepolisian dan tengah dalam tahap pemeriksaan awal. Polresta Pangkalpinang diharapkan dapat menindaklanjuti secara objektif dan transparan mengingat laporan ini menyeret nama pejabat penting di lingkungan pemerintah provinsi.

Kasus ini juga menyoroti kembali buramnya tata kelola dan pengawasan tambang timah di Bangka Belitung, di mana praktik perantara, uang damai, dan lobi gelap sering kali mencoreng upaya penegakan hukum.
Apalagi, dari hasil pemeriksaan awal diketahui bahwa kegiatan yang dilakukan ketiga warga tersebut berada di luar wilayah IUP PT Timah, namun hasil produksinya tetap diserahkan kembali ke PT Timah Tbk, menambah kompleksitas persoalan hukum di baliknya.

Tiga Perkara Penting yang Jadi Sorotan

Dalam laporan yang diterima kepolisian, terdapat tiga poin utama yang menjadi fokus perkara:
1. Penangkapan tanpa surat tugas dan di luar kewenangan.
Penangkapan yang dilakukan oleh Tim Bakamla Babel pada 13 September 2025 diduga tidak disertai dokumen resmi atau surat perintah penangkapan yang sah. Selain itu, lokasi kegiatan yang diamankan bukan wilayah laut terbuka, sehingga diduga di luar wewenang Bakamla.
2. Dugaan pemerasan oleh oknum instansi.
Dalam proses pembebasan, muncul permintaan uang damai sebesar Rp100 juta yang disebut-sebut untuk menyelesaikan perkara. Uang tersebut diserahkan kepada pihak yang mengaku memiliki akses langsung ke pejabat Bakamla dan Pemerintah Provinsi. Namun, hasilnya nihil, dan pelapor merasa diperas dengan modus mediasi.

3. Dua pejabat tinggi tidak mengakui menerima uang.
Baik Jauhari (Staf Khusus Gubernur) maupun Yuli Eko Prihartanto (Kepala Bakamla Babel) membantah menerima uang damai tersebut. Penyangkalan ini menimbulkan tanda tanya besar ke mana aliran dana Rp100 juta itu sebenarnya mengalir.

Publik kini menanti langkah tegas aparat kepolisian dalam menelusuri aliran dana Rp100 juta tersebut serta peran masing-masing pihak yang disebut dalam laporan.
Apakah uang itu benar-benar untuk “damai” atau justru bagian dari praktik pemerasan dan penyalahgunaan wewenang di balik layar tambang timah Babel?

Tim Media akan terus berusaha meminta keterangan dari semua pihak, termasuk dari Bakamla dan Pemprov Babel, untuk menjaga prinsip keberimbangan berita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *